Istilah "mudik" rupanya sudah menjadi khasanah bahasa Indonesia. Entah dari mana asal kata "mudik" itu, tetapi kita semua sepakat mengartikan kata "mudik" itu sebagai kegiatan "pulang kampung".
Lho koq pulang kampung? Iya, karena masyarakat kita yang menempati wilayah NKRI yang cukup luas ini, terjadi mobilisasi penduduk dari satu kampung atau daerah atau kabupaten atau pun provinsi bekerja mencari nafkah di daerah lain (di luar daerahnya). Sehingga momen pada setiap hari raya Idul Fitri selalu dijadikan acara Silaturahmi masal secara nasional, yang biasa kita sebut "Tradisi Mudik" alias pulang kampung.
Kita melihat betapa kuatnya ikatan bathin antar keluarga, sehingga kalau sampai tidak mudik pada hari raya Idul Fitri rasanya kurang afdol. Bagus memang, setidaknya tali silaturahmi tetap terjaga dan roda perekonomian pun berputar.
Hanya saja hendaknya kita yang merayakan hari raya Idul Fitri (mudik) dapat bersikap bijak. Dalam artian, jangan sampai menghambur-hamburkan uang yang dengan susah payah dicari dan dikumpulkan di tanah perantauan habis dalam sekejap pada acara mudik itu. Sehingga pada saat mau kembali lagi ke tempat perantauannya, mesti bingung mencari bekal dengan cara pinjam sana sini.
Satu hal yang lebih penting adalah, mampu menjaga nilai ibadah puasa kita. Jangan sampai acara mudik itu mengalahkan ibadah puasa kita. Mudik boleh, tapi puasa mesti jalan terus. Istilah para ulama jangan mengerjakan yang sunah (mudik) tapi justru meninggalkan yang wajib (puasa Romadhon).
Lho koq pulang kampung? Iya, karena masyarakat kita yang menempati wilayah NKRI yang cukup luas ini, terjadi mobilisasi penduduk dari satu kampung atau daerah atau kabupaten atau pun provinsi bekerja mencari nafkah di daerah lain (di luar daerahnya). Sehingga momen pada setiap hari raya Idul Fitri selalu dijadikan acara Silaturahmi masal secara nasional, yang biasa kita sebut "Tradisi Mudik" alias pulang kampung.
Kita melihat betapa kuatnya ikatan bathin antar keluarga, sehingga kalau sampai tidak mudik pada hari raya Idul Fitri rasanya kurang afdol. Bagus memang, setidaknya tali silaturahmi tetap terjaga dan roda perekonomian pun berputar.
Hanya saja hendaknya kita yang merayakan hari raya Idul Fitri (mudik) dapat bersikap bijak. Dalam artian, jangan sampai menghambur-hamburkan uang yang dengan susah payah dicari dan dikumpulkan di tanah perantauan habis dalam sekejap pada acara mudik itu. Sehingga pada saat mau kembali lagi ke tempat perantauannya, mesti bingung mencari bekal dengan cara pinjam sana sini.
Satu hal yang lebih penting adalah, mampu menjaga nilai ibadah puasa kita. Jangan sampai acara mudik itu mengalahkan ibadah puasa kita. Mudik boleh, tapi puasa mesti jalan terus. Istilah para ulama jangan mengerjakan yang sunah (mudik) tapi justru meninggalkan yang wajib (puasa Romadhon).
Akhirnya saya pribadi melalui media ini menyampaikan "Permohonan maaf kepada para pembaca, apabila selama ini banyak hal yang saya lakukan kurang berkenan di hati para pembaca yang budiman". Selamat hari Raya Idul Fitri 1432 H Minal 'aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar